Tafsir: Serangga dan Keseimbangan Alam

(Q.S. al-Baqarah, 2/25)

 

Dr. Syahril Mukhtar Muhammad, ME.

https://waqffoundation.wordpress.com

بسم الله الرحمن الرحيم

إِنَّ اللَّـهَ لَا يَسْتَحْيِي أَن يَضْرِ‌بَ مَثَلًا مَّا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّ‌بِّهِمْ ۖ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُ‌وا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَ‌ادَ اللَّـهُ بِهَـٰذَا مَثَلًا ۘ يُضِلُّ بِهِ كَثِيرً‌ا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرً‌ا ۚ وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ ﴿٢٦﴾ الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّـهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ‌ اللَّـهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْ‌ضِ ۚ أُولَـٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُ‌ونَ ﴿٢٧

Arti ayat:

  1. Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka tahu bahwa perumpamaan itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah yang diinginkan Allah dengan perumpamaan ini?”. Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik;
  2. (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.
Sungguh, Allah tidak malu membuat perumpamaan dengan nyamuk apa-lagi yang lebih dari itu. إِنَّ اللَّـهَ لَا يَسْتَحْيِي أَن يَضْرِ‌بَ مَثَلًا مَّا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا
Sebab turun ayat ini adalah jawaban terhadap orang-orang Yahudi yang mempertanyakan tentang contoh yang dikemukakan oleh Allah tentang menciptakan lalat dan laba-laba. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya.”[1] (Q.S. al-Hajj, 22/73); dan “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”[2] (Q.S. al-‘Ankabut, 29/41). Orang-orang Yahudi mempertanyakan tentang contoh yang kemukakan oleh Allah: “Apa yang dimaksud oleh Allah dengan mengemukakan serangga-serangga jorok seperti itu. Orang-orang musyrik mengatakkan: “Kami tidaklah menyembah tuhan yang menyebut segala sesuatu seperti ini. Untuk menjawab resistensi yang mereka sebutkan itu, maka turunlah ayat ini: “Sungguh Allah tidak malu membuat perumpamaan seperti nyamuk, apa lagi yang lebih dari itu.” Thabari mengatakan bahwa tidak malu dalam frasa ini, artinya tidak takut mengemukakan contoh seperti itu. Rabie’ ibn Anas al-Bakri (w. 140 H) berpendapat bahwa perumpamaan ini adalah kalimat metaforis untuk kehidupan dunia. Nyamuk hidup ketika ia lapar, bila gemuk, ia akan mati. Itulah gambar kehidupan duniawi yang digambarkan oleh Al-Quran bila telah puas menghirup kesenangan dunia, ketika itu Allah akan mengambilnya. “Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sampai mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan, ketika itu, Kami ambil mereka dengan tiba-tiba, maka ketika itu merek terhenyak berputus asa.[3] (Q.S. al-An’am, 6/44). Frasa { فَمَا فَوْقَهَا }, menurut Ibn Katsir, mengandung dua pengertian: Pertama, lebih kecil dan lebih dekil dari nyamuk; kedua, lebih besar dari nyamuk, karena tidak ada lagi yang lebih dekil dan kecil dari nyamuk (Ibn Katsier, 1/206).
Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka tahu bahwa perumpa-maan itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka, فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّ‌بِّهِمْ
Contoh-contoh yang diberikan oleh Allah dalam Al-Quran bukanlah contoh sembarangan tetapi bertujuan untuk seseorang dapat memanfaatkan otak untuk berfikir dan jantung untuk merenung dan merasakan. Itulah yang disebut oleh Allah dalam Q.S. al-Hasyar, 59/21: “Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia, agar mereka berfikir.”[4] Dan Q.S. Ibrahim, 14/25: Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”[5] Dalam ayat lain Allah mengatakan bahwa contoh-contoh itu hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang memiliki budaya ilmu. “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”[6] (Q.S. al-‘Ankabut, 29/43). Ibn Katsir menyimpulkan bahwa contoh-contoh yang diberikan oleh Allah dalam Al-Quran, besar atau kecil, diyakini oleh orang-orang beriman sebagai kebenaran yang datang dari Allah dan menjadi petunjuk bagi mereka (Ibn Katsir, 1/208).
tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah yang diinginkan Allah dengan perumpamaan ini?”. وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُ‌وا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَ‌ادَ اللَّـهُ بِهَـٰذَا مَثَلًا
Frasa ayat ini menunjuk kepada orang-orang munafik yang diumpamakan oleh Allah sebagai orang menyalakan api; atau orang yang diguyur oleh hujan lebat pada kegelapan malam yang diiringi oleh kilat dan petir; atau orang-orang kafir yang diumpamakan seperti laba-laba yang membangun rumah; atau orang yang menyembah tuhan-tuhan yang tidak dapat berbuat apa-apa, malah tak mampu menciptakan seekor lalatpun. Serangga yang dibuat oleh Allah sebagai contoh telah membuat orang kafir itu mendapat celah untuk menaburkan keraguan tentang kebenaran wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan nada merendahkan dan mengejek, mengatakan bahwa perumpamaan seperti itu tidaklah berasal dari Allah. Firman Allah tidaklah menyebutkan contoh-contoh rendah dan tak berarti seperti itu. Ini adalah bagian dari kompanye menyebarkan keraguan dan kebingunan yang dilakukan oleh orang-orang munafik dan Yahudi di Madinah. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang-orang musyrik di Mekkah. Kompanye skeptisme dan membangun kebingungan seperti ini, kontan dijawab oleh Allah dengan tegas bahwa Allah tidak merasa malu memberikan contoh dengan serangga kecil seperti itu. Allah adalah pencipta langit dan bumi, juga pencipta serangga yang paling kecil.
Dengan perumpamaan itu banyak orang yang tersesat, dan dengan itu (pula) banyak orang yang mendapat petunjuk. يُضِلُّ بِهِ كَثِيرً‌ا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرً‌ا
Abu al-Hassan al-Mawardi (364 – 450 H/974 – 1058 M), dalam al-Nukat wa al-‘uyūn, frasa ayat ini memiliki tiga pengertian: Pertama, banyak yang mengingkari contoh-contoh yang diberikan oleh Allah hingga mereka menjadi tersesat dan banyak pula yang membenarkannya hingga mereka mendapat petunjuk. Kedua, contoh-contoh yang diberikan oleh Allah berfungsi sebagai testing. Ada bangsa yang tidak bisa menerimanya, hingga mereka menjadi sesat, dan ada bangsa yang dapat menerimanya, lalu menjadikannya sebagai petunjuk. Ketiga, bahwa hal itu adalah berita tentang orang-orang yang tersesat dan orang-orang yang mendapat petunjuk (al-Nukat wa al-‘uyun, 1/88). Ibn Katsir (701 – 774 H), dengan merujuk kepada beberapa pendapat sahabat Rasul SAW, mengatakan bahwa orang-orang yang tersesat itu adalah orang-orang munafik, dan orang-orang yang mendapat petunjuk adalah orang-orang beriman. Kesesatan tersebut bertambah jauh karena sikap mental yang menyembunyikan kebenaran. Sementara, bagi orang-orang beriman, jalan yang mereka tempuh semakin terang benderang, juga karena sikap mental yang baik dalam menerima dan memaknai contoh-contoh tersebut sebagai tambahan keterangan ke arah yang benar (Ibn Katsir, 1/209).
Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik; وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ
Fasiqin, dalam bahasa Arab, adalah bentuk plural dari fasiq. Fasiq adalah bentuk pelaku dari fisq (kefasikan). Fisq, dalam bahasa Arab, berarti keluarnya biji dari kulitnya. Yaitu, cacat dan buruknya kualitas suatu buah-buahan. Kefasikan memiliki beberapa tingkatan: tingkat tingginya adalah kafir. Istilah kefasikan ini banyak kita temui dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi. Dari defenisi yang diletakkan oleh para ulama Hadits, Tauhid dan Fiqh, dapat disimpulkan bahwa kefasikan tidaklah sama dengan kekafiran. Kefasikan identik dengan orang-orang beriman yang melakukan maksiat. Perbuatan maksiat, sekalipun telah menggunung, namun tidaklah menghapus iman. Pada bermacam kesempatan, Al-Quran menunjuk bangsa Yahudi sebagai orang-orang yang fasik. Menyebutkan penyesatan sebagai kehendak Allah adalah dalam rangka menegaskan bahwa Allah yang memberikan kebebasan bagi manusia untuk memilih berbasis kepada logika yang mereka bangun dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Ibn Ashur (1296-1394 H/1979-1972 M), dalam “Al-Tahrir wa al-Tanwir”, menerangkan bahwa kefasikan akan mendorong seseorang untuk sesat lebih jauh, karena kefasikan mendorong jantung dan jiwa agar terjerembab dalam jurang kesesatan (Al-Tahrir wa al-Tanwir, 1/265).
(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh. الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّـهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ
Ini adalah karakter pertama dari orang-orang fasik. Abu Ja’far (Al-Thabari, 1/41) mengatakan bahwa ini adalah defenisi Ilahi tentang orang-orang fasik yang membatalkan perjanjian dengan Allah setelah dibuat. Para ulama Tafsir berbeda pendapat tentang arti perjanjian yang dilanggar oleh orang-orang fasik itu. Pertama, yang dimaksud dengan perjanjian disini adalah Perintah dan instruksi Allah kepada para manusia untuk mentaati perintah dan larangan-Nya melalui Al-Quran dan Rasul SAW. Pelanggaran tersebut terjadi dalam bentuk ketidak patuhan mereka mentaati perintah dan larangan tersebut. Kedua, pihak yang ditunjuk dalam perjanjian tersebut adalah orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang munafik. Mereka telah berjanji kepada Allah untuk mentaati Allah dan apa yang dibawa oleh Musa AS dan Isa AS, serta membenarkan akan kedatangan Nabi Muhammad SAW serta apa yang diturunkan kepadanya. Pelanggaran yang mereka lakukan adalah dalam bentuk pengingkaran terhadapa Nabi Muhammad SAW dan Al-Quran yang dibawanya.[7] Pelanggaran tersebut berarti pelecehan terhadap apa yang sejatinya telah mereka ketahui. Kebohongan dan tindakan yang menyembunyikan kebenaran agar tidak diketahui oleh orang adalah pelanggaran yang tidak dapat dimaafkan. Ketiga, pihak yang ditunjuk oleh ayat ini adalah semua orang musyrik, kafir dan munafik. Pernjanjian yang dimaksud oleh Allah adalah perintah dan larangan yang dibawa oleh semua rasul-rasul yang diutus oleh Allah kepada mereka, dengan satu misi, yaitu mengesakan Allah sesuai dengan hak rububiyah-Nya. Untuk membuktikan sebagai utusan Allah, Allah mempersiapkan mereka dengan bermacam mu’jizat. Pelanggaran yang mereka lakukan adalah mengingkari pengakuan yang telah dibuat atau kebohongan yang mereka lakukan terhadap para rasul dan kitab suci yang diturukan kepada mereka. Keempat, perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian yang diambil ketika keluar dari sulbi Adam AS: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belkang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), “Bukankan Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” Atau agar kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya nenenkmorang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sengan kami adalah ketturunan yang (datang) setelah mereka. Maka apakah engkau akan membinasakan kami karena berbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?”.[8] (Q.S. al-a’raf, 7/172-173). Itulah sebabnya mereka tidak setia dengan janji dan malah melanggarnya. Diantara empat pendapat diatas, Thabari menegaskan bahwa ia lebih cenderung berpendapat bahwa ayat ini dialamatkan kepada orang-orang kafir di kalangan para pendeta Yahudi Zahrani, tempat Nabi SAW berhijah, dan penduduk Bani Israil yang munafik dan orang-orang masih dalam kemusyrikan.
Dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya. وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ‌ اللَّـهُ بِهِ أَن يُوصَلَ

Karakter kedua dari orang-orang fasik. “Dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya”. Frasa ayat ini tidak menjelaskan apa yang diperintahkan untuk menghubungkannya. Tetapi dalam ayat-ayat lain dijelaskan bahwa diantara hubungan yang harus dibangun itu adalah silaturrahim. Pemutusan hubungan silaturrahim ini ditunjuk oleh Q.S. Muhammad, 48/22: “Maka apakah sekiranya kamu bekuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan silaturrahim kamu?”[9] Dan diantara hubungan yang harus tersambung itu adalah beriman kepada semua para rasul yang diutus oleh Allah, yang satu sama lain memiliki hubungan organis dari segi aqidah. “Sesungguhnya orang-orang yang ingkar kepada Allah dan para rasul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (iman kepada) Allah dan para rasul-Nya, dengan mengatakan, “Kami beriman kepada sebagaian dan kami menginkari sebagai (yang lain),” serta bermaksu mengambil djalan tengan (iman dan kafir). Merekalah orang-orang kafir ang sebenarnya. Dan kami sedian untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan.”[10] (Q.S. al-Nisa, 4/150-151). Thabari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hubungan rahim adalah keluarga yang berasal dari satu Rahim. Memutuskan hubungan silaturrahim seperti ini berarti melanggar hak yang sudah diwajibkan untuk memberikannya. Sementara menyambungkan silaturrahim yang seperti ini berarti telah melaksanakan kewajibannya, dan telah memberikan hak Allah. Banyak juga yang mengatakan bahwa Allah mencela mereka yang memutuskan silaturrahim antar Rasul SAW dan orang-orang beriman dengan keluarga mereka. Pendapat ini didasarkan atas pengertian umum ayat, karena tidak ada indikasi khusus yang menunjuk kepada hubungan tertentu. Pendapat ini menurut Abu Ja’far adalah benar.

Sya’rawi berpendapat bahwa Allah memerintahkan kita untuk menyambung silaturrahim. Kita semua adalah anak Adam. Inilah yang disebut oleh Nabi pada Haji Wida’ “Wahai manusia, Sungguh Tuhan kamu adalah satu, dan bapak kamu adalah satu..[11] (Al-Jami’ al-Shahih li al-sunan wa al-masanid, 31/421). Ada ikatan kemanusian yang diperlihatkan oleh Allah kepada kita. Ikatan ini dimulai dengan keluarga, lalu diperlebar menjadi kampung dan desa, kemudian diperlebar menjadi menjadi Negara dan masyarakat. Dari orang-orang beriman semuanya, diperlebar hingga meliputi semua penduduk bumi. Inilah persaudaraan kemanusiaan yang diperlihatkan oleh Allah kepada kita. Tampilan yang diperlihat oleh Allah kepada kita, tidak saja terbatas pada dimensi kemanusiaan, tetapi juga mencatat perbuatan maksiat yang mereka lakukan, atau pelanggaran terhadap perintah Allah. Allah memerintahkan kita untuk menyambung tali silaturrahim, namun tetap saja ada yang tidak patuh terhadap pertintah tersebut, diantaranya memutus tali silaturrahim. Silaturrahim adalah salah satu bentuk keutuhan social antara sesame umat manusia. Bila seseorang ditimpa musibah, karib familinya akan segera datang memperlihatkan bahwa mereka ada bersamanya. Semua, dengan caranya sendiri-sendiri, berusaha meringankan bebannya. Kesenyawaan antara anggota suatu keluarga akan membuatnya kuat menghadapi cobaan. Tidak seorangpun dari keluarga itu yang merasa bahwa ia sendirian di dunia ini, karena ia merupakan satu kesatuan dengan keluarganya, satu kesatuan dengan kampung dan desanya. Kesenyawaan seperti ini akan menghilangkan kedengkian dalam masyarakat, dan dapat merekat keterbelahan keluarga seperti yang terjadi dalam masyarakat Eropa.

Dan membuat kerusakan di muka bumi. وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْ‌ضِ
Ini adalah karakter ketiga dari orang-orang fasik. Abu Ja’far mengatakan bahwa yang dimaksud dengan merusak di bumi adalah berbuat maksiat, kafir terhadap Allah, tidak mempercayai Rasul dan kenabiannya, dan tidak mempercayai wahyu yang diturunkan kepadanya (Al-Thabari, 1/416). Qurtubi menunjuk kepada factor utama sebab terjadinya kerusakan dibumi adalah kemusyrikan dan hawa nafsu manusia yang tidak terkendali. (Qurtubi, 1/247). Sya’rawi (1/109), dalam mengulas frasa ayat ini, menghubungkan dengan manhaj Allah. Yaitu system yang dibangun dengan « قَدَّرَ فَهَدَى ». Artinya, masing-masing memiliki system yang harus dipatuhinya. Tetapi manusia berbeda dari semua makhluk yang berada di alam raya ini. Ia diberikan kebebasan. Ia tidak diwajibakan untuk patuh menuruti system. Tetapi ketidak patuhan tersebbut akan merusak system. Berbasis kepada rahmat Allah, semua makhluk, kecuali manusia, di alam raya ini bergerak sesuai dengan system yang telah ditentukan. Matahari, bintang-bintang, bumi dan semua yang berada di alam raya ini, berjalan sesuai dengan system yang begitu rapi. Kenapa, karena semua berjalan di luar kehendaknya. Allah memberi-tahu kepada kita bahwa hal itu semuanya dimaksudkan untuk keseimbangan kehidupan kita. Kebebasan manusia untuk berjalan menjauhi system yang diletakkan oleh Allah. Allah memiliki sifat memaksa, maka Ia bisa saja menciptakan kita tetap berjalan menuruti system, tetapi Allah memberikan kepada kita kebebasan insani sehingga kita dapat datang kepada dengan rasa cinta, bukan karena terpaksa. Anda ingin melampiaskan hawa nafsu, tetapi dalam waktu yang sama anda ingin lebih mencintai Allah. Anda dapat mengaitkan diri dengan system yang dibuat oleh Allah. Jadi kebebasan tidaklah memberikan kita hak untuk berbuat kerusakan di bumi akan tetapi diberikan kepada kita agar kita datang kepada Allah dengan ketaatan dan rasa cinta.
Mereka itulah orang-orang yang rugi. أُولَـٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُ‌ونَ
Khāsirun, dalam bahasa Arab, adalah bentuk plural dari khāsir, artinya ‘orang yang rugi’. Thabari mengatakan, mereka adalah orang-orang yang menuju kehancuran, karena Allah menghentikan kasih sayang-Nya akibat maksiat dan kekafiran yang mereka lakukan. Dalam ayat ini, ditegaskan oleh Allah bahwa yang akan mengalaminya adalah orang-orang fasik, yang memiliki tiga karakter negative: melanggar perjanjian dengan Allah, memutuskan hubungan seharusnya disambung dan merusak di bumi. Tiga factor diatas lebih bersifat umum, dan diperjelas oleh ayat lain, seperti yang dijelaskan oleh Q.S. al-Baqarah, 2/121: yang menjelaskan tentang orang-orang tidak mempercayai Al-Quran.[12]; Q.S. al-A’raf, 7/178: yang menjelaskan tentang orang yang salah memilih jalan.[13]; dan Q.S. al-Zumar, 39/63: tidak mempercayai bahwa tradisi langit dan bumi adalah mematuhi perintah Allah.[14] Kerugian yang semacam ini dapat dihindari dengan empat usaha, yaitu: beriman, beramal saleh, dapat menerima dan mau memberi nasehat kebenaran, dan dapat menerima dan mau memberi nasehat tentang kesabaran.[15]

 

Pengertian Umum Ayat:

Dua ayat diatas menjelaskan bahwa semua ciptaan Allah di alam raya ini tidak ada yang sia-sia. Langit, bumi, antara keduanya dan segala isinya. Daratan, lautan dan udara; hewan yang melata di darat, melayang di perairan, dan terbang di udara; dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar adalah system yang dibangun Allah untuk alam raya ini. Lalat, laba-laba dan nyamuk atau mungkin saja virus adalah bagian yang tidak terpisahkan dari alam raya ini. Tidak ada ciptaan Allah yang sia-sia. Itulah sikap orang-orang beriman. Mereka selalu mengatakan, apapun yang dilakukan oleh Allah adalah kebenaran. Orang-orang kafir mengambil sikap yang berbeda, karena memang jantung mereka tidak lagi terbuka untuk kebenaran itu. Sikap yang diambil adalah bahwa mereka tidak mau berjalan di jalan yang sepi. Mereka juga ingin mendapat apresiasi dari pihak lain dan sebanyak yang bisa diyakinkan. Ketika Allah mengangkat perumpamaan lalat, laba-laba dan nyamuk, mereka merasa diatas angin, mendapat celah untuk memperbanyak teman dan pengikut agar tidak mempercayai wahyu yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Fitnah mulai ditebar, bahwa firman Allah tidaklah mungkin berbicara tentang hewan-hewan hina dan tak berarti sama sekali. Allah menjelaskan bahwa apa yang dibawa oleh Muhammad adalah wahyu dan Allah tidak pernah ragu mengemukakan nyamuk sebagai contoh atau malah serangga yang lebih kecil dari itu.

Mengemukakan contoh serangga yang hina sepeti itu, telah membangun gari demaksai yang jelas antara orang-orang beriman di satu sisi dan orang-orang kafir di sisi lain. Orang-orang beriman bertambah mendapat petunjuk dan orang-orang kafir bertambah jauh dari kebenaran. Yang terakhir ini disebut oleh Allah sebagai orang-orang Fasik.

Orang-orang fasik itu memiliki tiga kareakter: pertama, suka melanggar pernjanjian yang sudah dibuat untuk kepentingan sepihak; kedua, suka memutuskan hubungan yang hukum Allah telah menentukan agar disambung seperti beriman kepada semua rasul yang diutus oleh Allah dan satu sama lain memiliki Hubungan Tauhidi organis, dan, hubungan silaturrahim kemanusiaan, terutama yang memiliki hubungan darah; ketiga, merusak di bumi, yaitu yang berhubungan dengan distorsi yang dilakukan dan pada gilirannya merusak system. Pemberantasan serangga, sebagai musuh manusia dalam pertanian, dengan memakai bahan kimia beracun akan mencemari air minum dan sungai yang pada gilirannya akan merusak di bumi. Pelaku ketiga karakter ini, disebut oleh Allah sebagai orang-orang yang merugi.

Pesan dan Aspirasi Ayat:

 

Dari studi tafsir yang telah dibahas dalam dua ayat diatas, dapat dicatat tiga hal. Yaitu, pertama, mencoba menjawab tantangan yang dikemukakan oleh orang-orang kafir itu, apa tujuan Allah menukilkan perumpamaan serangga yang kelihatannya tidak berarti di permukaan alam raya ini. Kedua: Kebebasan sebagai takdir yang diberikan Allah kepada manusia. Ketiga: Cara orang-orang beriman membangun sistem berfikir. Yaitu menjadikan wahyu sebagai lokomotif berfikir.

 

  1. Ketika membaca firman Allah “Allah tidak malu membuat perumpamaan dengan nyamuk”terbayang bermacam jenis serangga yang kecil-kecil, tetapi berbahaya: kecoak, lalat dan nyamuk. Telah banyak manusia yang menderita penyakit dan sering kali berakibat kematian. Penyakit mereka disebabkan oleh tiga serangga yang sangat dikenal di Indonesia ini. Setidaknya, ada lima penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh gigitan seekor nyamuk, yaitu malaria, demam berdarah, demam chikungunya, demam penyakit kuning dan kaki gajah. Demikian juga lalat, diantara penyakit yang membahayakan manusia yang dibawanya adalah disentri, kolera, diare dan typhoid. Sementara kecoa dapat mengakibatkan penyakit tipus, diare, tuberculosis (TBC), kolera, hepatitis dan asma.

 

 

 

 

 

Manusia diciptakan dan bersamaan dengan itu diciptakan Allah sejumlah musuh yang siap untuk membunuhnya. Tiga jenis serangga ini telah memiliki sejumlah senjata pembunuh: malaria, demam berdarah, demam chikungunya, kolera, diare, typhoid, tipus, diare, tuberculosis (TBC), hepatitis dan asma. Allah tidak menyembunyikan fakta seperti ini tetapi malah mengumumkannya dalam Al-Quran, bahwa itu semua ada maksud dan tujuan: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam kesulitan dan bekerja keras.”[1](Q.S. al-Balad, 90/4).Allah tidak menginginkan kehidupan dunia bagi manusia sebagai dunia yang aman dan damai, tetapi Allah mengingin manusia selalu menemui kesulitan, melakukan perjuangan, tarik menarik yang berlawanan. Allah ingin mengujinya dengan segala sesuatu hingga ia dapat menguasainya; Allah akan menguji segala sesuatu dengan lawannya. Sebuah hukum yang menjadikan kehidupan dunia ini tempat perebutan bagi yang berlawanan.“Seandainya Allah tidak menghalangi manusia satu sama lainnya, pasti rusaklah bumi ini.”[2](Q.S. al-Baqarah, 2/251). Frasa ini menunjukkan betapa pentingnya hal ini dan perlu mendapat perhatian. Hukum ini sudah berlaku sejak manusia pertama diturunkan ke bumi.“Dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”[3] (Q.S. al-Baqarah, 2/36). Sejak hari pertama, bumi ini dihunyi oleh manusia pertama, Allah sudah memastikan sebuah hukum “satu sama lain akan bermusuhan”.Hukum ini menjadi hukum umum. Allah menjadikan satu sama lain bermusuhan terutama dalam kecenderungan menegakkan yang benar vs kebatilan dalam dunia materi dan pemikiran. “Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil.Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.”[4] (Q.S. al-Ra’d, 13/17).Dengan demikian, pemikiran akan tersaring, individu perorangan juga akan tersaring. Yang baik akan tetap eksis dan akan menghancurkan yang rusak.Perseteruan antara kebenaran dan kebatilan akan terus berlanjut, selagi alam raya ini masih ada.

 

 

  1. Kebebasan adalah takdir yang ditentukan untuk makhluk yang disebut dengan ‘tsaqalain’ (jin dan manusia).Setiap individu perorangan memiliki kebebasan untuk beriman atau tidak beriman. Kebebasan ini menegaskan kecintaan Allah SWT dalam hati kita, tetapi kebanyakan orang dari pada memilih datang kepada Allah dengan rasa cinta, hingga ia mendapat pahala yang besar, lebih memilih untuk merusak di bumi. Merusak di bumi bisa sebut sebagai korupsi. Korupsi yang tidak saja terbatas pada ekonomi, keuangan dan politik, tetapi juga perusakan alam semesta. Korupsi, menurut Sya’rawi, logikanya sederhana. Yaitu memindahkan daerah perintah menjadi daerah larangan. Perubahan standar dimana perintah Allah tidak dilaksanakan, dan larangan Allah dilaksanakan. Perubahan standar kehidupan yang terbalik. Karena kita tidak lagi taat dengan system umum yang mengatur kehidupan manusia. Masing-masing memiliki standar sendiri, dan masing-masing tidak lagi melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, hingga terjadi tabrakan dalam kehidupan. Masing-masing membentuk keburukan dan menabrak system. Contoh sederhana dapat kita lihat dalam perjalanan kita di sebuah ruas jalan di ibu kota Republik Indonesia, Jakarta. Jalan yang baru saja diperbaiki aspalnya pada buka Desember, tiga bulan berikutnya telah rusak dan berlubang-lubang karena guyuran hujan yang terus menerus pada bulan Ferbruari. Perasaan kita terusik karena terjadinya kerusakan akibat tidak amanahnya seseorang dalam bekerja. Jadi, ketika satu factor rusak, karena tidak ikhlas bekerja, dunia ini mulai kehilangan nikmat yang dicintai oleh Allah. Dari pada melihat sesuatu yang indah, kita akan mengatakan: “A’uzubillah..pada setiap kelompok ada saja orang yang tidak amanah pada pekerjaannya.” Kerusakan di alam ini terjadi akibat ada orang yang tidak amanah terhadap maksud dan tujuan hidupnya. Ketidak amanahan itu telah merusak alam, melanggar kehormatan dan harta orang lain.Inilah yang membuat alam raya ini menjadi jelek, tidak ada lagi manusia yang merasa aman terhadap kehormatan dan harta bendanya. Para pelanggar ingin mereaslisaikan apa bermanfaat untuk diri dengan cepat, tetapi ia menimbulkan kerusakan di alam raya ini. Demikian juga, ketika seorang pedagang menipu pelanggannya. Ketika seseorang mendapatkan harta dengan cara merampok dan mencuri, maka Allah akan membukakan pintu rezki terburuk untuk nya di dunia ini. Dengan demikian, ia telah membuka pintu penderitaan melalui hidup berdasar pada standar untuk kepentingannya sendiri. Standar hidup yang merusak, keluar dari rel sistem diletakkan oleh Allah.
  2. Serangga hina yang dijadikan contoh dalam sebuah wahyu dapat memberika klasifikasi cara berfikir umat manusia. Cara berfikir orang-orang beriman di satu sisi, dan cara berfikir orang-orang kafir di sisi lain. Kata (يعلمون) “mereka tahu”, dalam bahasa arab dikenal sebagai fi’il mudhari’ bentuk ketiga jamak. Artinya berfungi untuk masa sekarang dan yang akan datang. Kata tersebut dapat diterjemahkan “Mereka tahu sekarang dan pada masa yang akan datang. Apapun contoh yang diberikan oleh Allah, terutama dalam wahyu, tidaklah sia-sia dan sikap yang dibangun oleh orang-orang beriman adalah mempercayainya. Bila belum dapat dipahami dan dicerna dengan baik pada masa ayat diturunkan berarti cara berfikir manusia harus dikembangkan hingga dapat memahmi dan mencernanya dengan baik. Ternyata di abad Sains Moderen dan Teknologi yang berkembang seperti saat sekarang ini, contoh yang dikemukakan oleh Allah sangat mudah dipahami dan dicerna. Sebaliknya, cara berfikir orang-orang kafir selalu mendahulukan akal fikiran sebagai alat kesombongan. Lebih mempergunakan akal fikiran untuk mempertanyakan sesuatu bahwa hal itu tidak relevan dan tidak logis dari pada mencari hikmahnya. Cara orang-orang kafir mempertanyakan itu berbanding lurus dengan cara berfikir Iblis yang merespon perintah Allah untuk tidak bersujud kepada Adam. “Aku lebih baik dari Adam. Aku diciptakan dari api, sedangkan Adam diciptakan dari tanah.” Iblis mempergunakan akal fikirannya dalam bersujud kepada Adam dan tidak mempergunakan akal fikirannya bahwa perintah itu bukan berasal dari Adam, tetapi berasal dari Allah SWT, Pencipta alam semesta dan semua makhluk yang mendiaminya. Pertanyaan orang-orang kafir tentang tujuan Allah menciptakan serangga yang tidak berguna itu berbanding lurus dengan pernyataan Iblis. Yaitu, sama-sama mengandung ejekan, ketidak-sukan dan kesombongan. Sifat-sifat yang tidak disukai oleh Allah. Ketika seseorang menjadikan akal pemikiran kita sebagai lokomotif, ketika itu akan membuatnya tidak lagi mempertimbangkan factor alam dan lingkungan yang diciptakan oleh Allah. Apa yang terfikir, itulah yang direncanakan. Hutan dan rimba raya dibabat, limbah industry dibuang ke sungai, tanpa mempertimbangkan tercemarnya air dan lingkungan hidup. Untuk membasmi hama, dipakai bahan kimia beracun. Bahan kimia itu lalu mengalir ke saluran air minum dan sungai. Alam menjadi tercemar, dan pencemaran itu merata. Semuanya itu berpengaruh terhadap lapisan ozon secara nyata. Kehidupan manusia terancam oleh bahaya besar, air sungai telah tercemar, tak lagi dapat dipergunakan untuk minum dan pengairan, kebaikan bumi lama-lama menjadi hilang, kerusakan terjadi dimana-mana. Kezaliman bergerak merata, kesengsaran dalam kehidupan menjadi seri yang tidak akan pernah berakhir.

  ========================

 

اللَّهُمَّ ارْحَمْنَا بِالْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَاجْعَلْهُ لَنَا إِمَامًا وَنُوْرًا وَهُدًى وَرَحْمَةً، اللَّهُمَّ ذَكِّرْنَا مِنْهُ مَا نُسِيْنَا وَعَلِّمْنَا مِنْهُ مَا جَهِلْنَا وَارْزُقْنَا تِلَاوَتَهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَأطْرَافِ النَّهَارِ وَاجْعَلْهُ حُجَّةً لَنَا وَلَا تَجْعَلْهُ حُجَّةً عَلَيْنَا يا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ.

 

 

 

 

[1]﴿لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ﴾ (سورة البلد، 90/4)

[2]﴿وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّـهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ الْأَرْ‌ضُ﴾ (سورة البقرة، 2/251).

[3]﴿وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ وَلَكُمْ فِي الْأَرْ‌ضِ مُسْتَقَرٌّ‌ وَمَتَاعٌ إِلَىٰ حِينٍ﴾ (سورة البقرة، 2/36).

[4]﴿كَذَٰلِكَ يَضْرِ‌بُ اللَّـهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ ۚ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْ‌ضِ﴾ (سورة الرعد، 13/17).

========================

[1] إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّـهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ (سورة الحج، 22/73)؛

[2] مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّـهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا ۖ وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنكَبُوتِ ۖ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ ﴿٤١﴾ (سورة العنكبوت، 29/41).

[3] ﴿فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُ‌وا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِ‌حُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ﴾ (سورة الأنعام، 6/44).

[4] ﴿وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِ‌بُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُ‌ونَ﴾ (سورة الحشر، 59/21).

[5] ﴿وَيَضْرِ‌بُ اللَّـهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُ‌ونَ﴾ (سورة إبراهيم، 14/25)

[6] ﴿وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِ‌بُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ﴾ (سورة العنكبوت، 29/43).

[7] {وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرائيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقاً لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّراً بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ} [سورة الصف، 61/6]

[8] ﴿وَإِذْ أَخَذَ رَ‌بُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِ‌هِمْ ذُرِّ‌يَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَ‌بِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَـٰذَا غَافِلِينَ ﴿١٧٢﴾ أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَ‌كَ آبَاؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّ‌يَّةً مِّن بَعْدِهِمْ ۖ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ ﴿١٧٣﴾ (سورة الأعراف، 7/172-173).

[9] ﴿فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ﴾ (سورة محمد، 47/22).

[10] إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُ‌ونَ بِاللَّـهِ وَرُ‌سُلِهِ وَيُرِ‌يدُونَ أَن يُفَرِّ‌قُوا بَيْنَ اللَّـهِ وَرُ‌سُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ‌ بِبَعْضٍ وَيُرِ‌يدُونَ أَن يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا ﴿١٥٠﴾ أُولَـٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُ‌ونَ حَقًّا ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِ‌ينَ عَذَابًا مُّهِينًا ﴿١٥١﴾ (سورة النساء، 4/150-151)

[11] عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ – رضي الله عنهما – قَالَ: ” خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ – صلى اللهُ عليه وسلَّم – فِي وَسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ خُطْبَةَ الْوَدَاعِ، فَقَالَ: ” يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ … (الجامع الصحيح للسنن والمسانيد).

[12] ﴿الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَـٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَن يَكْفُرْ‌ بِهِ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُ‌ونَ﴾ (سورة البقرة، 2/121)

[13] ﴿مَن يَهْدِ اللَّـهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي ۖ وَمَن يُضْلِلْ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُ‌ونَ﴾ (سورة الأعراف، 7/178).

[14] لَّهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْ‌ضِ ۗ وَالَّذِينَ كَفَرُ‌وا بِآيَاتِ اللَّـهِ أُولَـٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُ‌ونَ ﴿٦٣﴾ (سورة الزمر، 39/63).

[15] ﴿وَالْعَصْرِ‌ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ‌ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ‌ ﴿٣﴾ (سورة العصر، 103/1-3).

[16] ﴿لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ﴾ (سورة البلد، 90/4)

[17] ﴿وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّـهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ الْأَرْ‌ضُ﴾ (سورة البقرة، 2/251).

[18] ﴿وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّـهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ‌ فِيهَا اسْمُ اللَّـهِ كَثِيرً‌ا﴾  (سورة 22/44)

[19] ﴿وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ وَلَكُمْ فِي الْأَرْ‌ضِ مُسْتَقَرٌّ‌ وَمَتَاعٌ إِلَىٰ حِينٍ﴾ (سورة البقرة، 2/36).

[20] ﴿كَذَٰلِكَ يَضْرِ‌بُ اللَّـهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ ۚ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْ‌ضِ﴾ (سورة الرعد، 13/17).

[21] عَنْ عِكْرِمَةَ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : مَنِ اسْتَعْمَلَ رَجُلاً مِنْ عِصَابَةٍ وَفِي تِلْكَ الْعِصَابَةِ مِنْ هُوَ أَرْضَى لِلَّهِ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ اللَّهَ وَخَانَ رَسُولَهُ وَخَانَ جَمِيعَ الْمُؤْمِنِينَ. ( شهاب الدين البوصيري (762 – 840ه) إتحاف الخيرة المهرة، رقم 4894، 5/388؛ الحاكم في المستدرك كتاب الأحكام “4/92” وقال صحيح الإسناد(.

About iiwaqffound

Philanthropy Section
This entry was posted in Tafsir, Tauhid. Bookmark the permalink.

Leave a comment