Hukum Melaksanakan Shalat Zuhur Sesudah Jumat

Hukum Melaksanakan Shalat Zuhur Sesudah Jumat

Dr. Syahril Mukhtar Muhammad, ME

Menarik apa yang dilontarkan oleh Guruku, Rusydi, SH tentang hukum shalat Zuhur sesudah Jum’at, lalu menanyakannya: Apa benar Ahlussunnah wal Jamaah mengajarkan ada shalat zuhur berjamaah setelah shalat jumat. Dimana ditemui haditsnya Nabi telah berbuat demikian?
Apa yang dipertanyakan oleh Pak Rusydi juga telah menjadi pertanyaan bagi sebagian umat Islam di belahan benua lain di Afrika, seperti din Tanzania. Ada sekelompok masyarakat yang menganut Mazhab Syafei, setelah melaksanakan Shalat Jum’at, mereka memisahkan diri untuk melaksanakan shalat Zuhur. Artinya, apa yang dipertanyakan oleh Pak Rusydi yang sebelumnya belum pernah kedengaran tetapi telah menjadi ibadah bagi sekelompok masyarakat, tidak saja di Indonesia tetapi juga di Afrika. Saya mencoba untuk melihat bukti-bukti syar’i dari Al-Qur’an, Sunnah dan pendapat para ulama dalam hal ini, dalah hal ibadah. Ada Qaidah Umum Fiqh (QUF) yang berlaku yang perlu dirujuk sebagai dasar hukum dalam hal beribadah.
أنَّ الأصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ الْحَظْرُ أو التَّوَقُّفُ وَالأصْلُ فِي الْعَادَاتِ الإبَاحَةُ
“Dasar hukum dalam ibadat adalah larangan atau tidak dibolehkan; dasar hukum dalam adat (termasuk mu’amalat) adalah boleh.” Boleh dikatakan bahwa semua imam mazhab pendapat yang sama.
Bila kita merujuk kepada Al-Quran, akan kita temui bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan agama sudah selesai.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَ‌ضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Q.S. al-Ma’idah, 5/3). Nabi SAW menetap di Madinah selama sepuluh tahun, berkumpul bersama para sahabatnya di Masjid Nabawi. Mereka selalu melaksanakan shalat Jumat berjamaah disana, tidak saja dilaksanakan oleh Nabi dan para sahabat, tetapi juga diketahui oleh banyak penduduk Madinah yang selalu melaksanakan Jum’at berjamaah disana. Nabi tidak pernah melaksanakan apa yang dilaksanakan oleh sekelompok muslim Tanzania ini. Hal yang sama juga berlaku selama pemerintahan Khulafa al-Rasyidin yang melaksanakan Sunnah Nabi dalam hal beribadah. Mereka tidak pernah melaksanakan shalat Zuhur sesudah shalat Jumat.
Bertambah lama, jumlah umat Islam bertambah banyak, menyebar di Semenanjung Arabia, lalu menyeberang ke negeri lain. Di saat itu ada kebutuhan melaksanakan beberapa shalat Jumat dalam sebuah kota. Para ulama membolehnya terjadi, tetapi mayoritas mereka berpendapat untuk melaksanakan Jum’at pada satu masjid, yang berarti bersatunya kebenaran. Kebutuhan mengadakan dua Jum’at atau lebih dalam sebuah kota, bisa saja dilaksanakan karena masjid yang ada tidak dapat lagi menampung penduduk yang akan melaksanakan Jumat; tempatnya yang berjauhan; atau karena adanya permusuhan diantara penduduk yang bisa saja dapat menyulut fitnah. Faktor-faktor seperti ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengadakan beberapa Shalat Jumat di sebuah kota. Namun demikian, para ulama tidak pernah berpendapat mengizinkan orang melaksanakan Shalat Zuhur sesudah Shalat Jumat.
Melaksanakan Shalat Zuhur sesudah Shalat Jumat, berarti ada distorsi bentuk baru yang mewajibkan Shalat keenam, dan Nabi SAW tidak pernah mengajarkan itu. Perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan yang melanggar nusus Al-Quran dan Sunnah, malah dapat dikategorikan sebagai bid’ah, sebuah ibadah yang ditradisikan. Perbuatan bid’ah yang seperti ini tidak diakui oleh mayoritas ulama baik dari kalangan Syafei atau mazhab lainnya. Orang yang telah melaksanakan hal itu seharusnya ia kembali kepada Al-Quran dan Sunnah agar tidak terlalu lama dalam kesesatan. Dalam Hadits Aisyah diriwayatkan:
“Orang yang menambahkan pada urusan kami ini (ibadat) yang tidak pernah ada, maka, tidak dapat diterima.” مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
(H.R. Bukhari, no. 2499, 9/201; Shahih Muslim, no. 3242, 9/118).

About iiwaqffound

Philanthropy Section
This entry was posted in Fiqih. Bookmark the permalink.

Leave a comment